Sabtu, 26 Mei 2012

LS dan UP


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Model pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu melalui model uang persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Melalui 2 model ini diharapkan pencairan dana menjadi lebih lancar, dan setiap Satker diharapkan mengoptimalkan pengeluaran-pengeluaran yang akan dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan uang persediaan dan LS.
Strategi perencanaan pengeluaran menjadi hal yang harus diperhatikan mengingat hanya ada dua model pencairan dana. Pengeluaran-pengeluaran sejak awal harus disusun dan direncanakan akan menggunakan uang persediaan atau LS mengingat kedua model pencairan ini mempunyai aturan-aturan tertentu yang bisa menjadi penentu kelancaran atau malah sebaliknya ketika kita tidak memahami mekanisme pencairan kedua model ini.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan
Uang persediaan (UP) adalah istilah baru yang muncul dalam Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. UP merupakan uang kas yang ada di tangan bendahara pengeluaran, dengan karakteristik sebagai berikut:
1.       Hanya diberikan sekali dalam satu tahun anggaran;
2.       Diberikan pada awal tahun anggaran;
3.       Merupakan jumlah maksimal (pagu) uang yang dipegang oleh bendahara pengeluaran;
4.       Untuk digunakan dalam melaksanakan pembayaran kegiatan-kegiatan yang bersifat swakelola;
5.       Bersifat revolving (adanya pengisian kembali jika telah terpakai); dan
6.       Besarannya tergantung pada “kebijakan daerah” (biasanya dinyatakan dalam Surat Keputusan Kepala Daerah).
UP dalam Permendagri No.13/2006
Pasal 1 angka 66 Permendagri No.13/2006 menyatakan bahwa “SPP Uang Persediaan (SPP-UP) adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan uang muka kerja yang bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Uang Persediaan merupakan uang muka kerja SKPD yang bersifat revolving. Definisi ini merupakan implikasi dari dipilihnya sistem UYHD, sebuah sistem yang mengadopsi sistem Imprest Fund dalam pengelolaan kas kecil. Dengan sistem tersebut, bendahara sebagai pengelola kas diberikan uang muka kerja pada besaran tertentu, untuk kemudian dipakai untuk membiayai kegiatan SKPD, dan jika jumlah telah berkurang sampai batas tertentu dapat dimintakan penggantian sehingga jumlah uang akan kembali pada nilai semula.
DOKUMEN
Mekanisme uang persediaan menggunakan dokumen sebagai berikut:
·         DPA SKPD sebagai dasar  perhitungan
·         Per KDH yang menetapkan besaran UP untuk setiap SKPD
·         SPP UP
·         SPM
·         SP2D

ISU LAPANGAN
1.    Beberapa kesulitan yang muncul diawali dengan kebingungan tentang bagaimana menghitung besaran UP per SKPD. Pada dasarnya tidak ada pengaturan yang spesifik tentang hal tersebut. Secara logis, perhitungan besaran UP diawali dengan mengidentifikasi item2 dalam DPA yang akan dilaksanakan dengan cara LS. Berarti sisanya direncanakan akan dibiayai dengan menggunakan mekanisme uang persediaan. Kemudian, dilakukan proyeksi berapa kali bendahara yang bersangkutan akan melakukan SPJ. Jika 12 kali, maka jumlah tadi dibagi 12. Jika 20 kali, maka dibagi 20.
2.    Bagi Kas Daerah, UP merupakan pengeluran. Bagi SKPD, merupakan penerimaan. Namun dalam sudut pandang Pemda, UP hanya merupakan reklasifikasi kas semata. Jadi, dokumen penatausahaan TIDAK perlu mencantumkan kode rekening belanja yang menandakan adanya pembebanan belanja APBD.
3.    Penggantian UP yang telah digunakan menggunakan GU. Penggantian tersebut tidak dipicu berdasarkan waktu, tetapi dipicu berdasarkan kondisi (jumlah) keberadaan UP itu sendiri. Dengan demikian permintaan GU tidak harus menunggu sebulan atau periode waktu tertentu, namun tergantung pada kebutuhan.
Kepada setiap satuan kerja dapat diberikan Uang Persediaan. Untuk mengelola uang persediaan bagi satuan kerja di lingkungan kementrian Negara/lembaga, sebelum diberlakukannya  ketentuan  dan  atau  dilakukannya  pengangkatan  pejabat  fungsional Bendahara,  Menteri/Pimpinan  lembaga  pengeluaran  pada  kementrian/lembaga  atau satuan kerja yang dipimpinnya. Untuk membantu pengelolaan uang persediaan pada kantor / satuan kerja dilingkungan kementrian/lembaga, apabila diperlukan kepala satuan kerja dapat menunjuk pemegang uang muka.
Dalam pelaksanaan tugasnya pemegang uang muka bertanggung jawab kepada bendahara pengeluaran. Bendahara pengeluaran dapat membagi uang persediaan kepada beberapa PUM. Apabila diantara PUM telah merealisasikan penggunaan UPnya sekurang-kurangnya 75% Kuasa PA/pejabat yang ditunjuk dapat mengajukan SPM-GUP bagiPUM berkenaan tanpa menunggu realisasi PUM lain yan belum mencapai 75%. Mengenai prosedur uang persediaan diatur sebagai berikut:
1        PA/kuasa  PA  menerbitkan  SPMUP  berdasarkan  DIPA  atas  permintaan Bendahara pengeluaran yang dibebankan pada MAK transito kode kegiatan untuk rupiah  murni 0000.0000.825111, pinjaman  luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP 0000. 0000. 825113.
2        Berdasarkan  SPMUP,  KPPN  menerbitkan  SP2D  untuk  rekening  Bendahara Pengeluaran yangditunjuk dalam SPM-UP.
3        Penggunaan Uang Persediaan  menjadi  tanggungjawab  Bendahara pengeluaran.
4        Bendahara P engeluaran  melakukan  pengisisan  kembali  Uang  Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving ) sepanjang masih tersedia pagu dana dalam DIPA.
5        Bagi Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam pengajuan SPM-UP diwajibkan melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah uang yang dikelola oleh masing-masing PUM.
6        Sisa uang persediaan yang ada di Bendahara Pengeluaran pada akhir tahunanggaran harus disetorkan kembali ke rekening kas Negara selambat-lambatnyatanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa uang persediaandimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian uang persediaan sesuaimata anggaran yang ditetapkan.
7        Uang persediaan dapat diberikan dalam batas-batas sebagai berikut :
a.          Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811.
b.         Diluar ketentuan butir a, dapat diberikan pengecualian untuk DIPA pusat oleh Dirjen Perbendaharaan dan untuk DIPA pusat yang kegiatannya berlokasi didaerah serta DIPA yang ditetapkan oleh kepala Kanwil DJPBN oleh Kepala Kanwil DJPBN setempat.
c.          UP dapat diberikan setinggi-tingginya :
1)     1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 50 juta untuk pagu sampai dengan Rp 900 juta.
2)     1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut kualifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 100 juta untuk pagu diatas Rp 900 juta sampai dengan Rp 2.400 juta atau Rp 2,4 miliar.
3)     1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 200 juta untuk pagu diatas RP 2,4 miliar.
d.          Perubahan besaran UP diluar sebagaimana dimaksud butir c ditetapkan  oleh Dirjen Perbendaharaan.
e.          Pengisian kembali UP sebagaimana dimaksud butir c dapat diberikan apabila UPtelah dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.
f.           Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybsmemerlukan pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia, satker/SKS dimaksuddapat mengajukan TUP.
g.          Pemberian TUP diatur sebagai berikut:
1)       Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah RP 200 juta untuk klarifikasi belanja yang diperbolehkan  diberi UP  bagi instansi dalam wilayah pembayaran KPPN bersangkutan.
2)       Permintaan TUP diatas Rp 200 juta untk klarifikasi belanja yang diperbolehkan  diberi  UP  harus  mendapat  dispensasi  dari Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
8        Syarat untuk mengajukan Tambahan UP :
a.       Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
b.       Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
c.       Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
d.       Apabila ketentuan pada butir c tidak dipenuhi kepada satker yang bersangkutan tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran berkenaan.
e.       Pengecualian terhadap butir diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
9        Dalam  mengajukan  permintaan  TUP  bendahara  pengeluaran  wajib menyampaikan :
a.     Rincian Rencana Penggunaan Dana untuk kebutuhan mendesak dan riil serta rincian sisa dana MAK yang dimintakan TUP.
b.     Rekening Koran yang menunjukkan saldo terakhir.
c.     Surat  Pernyataan  bahwa  kegiatan  yang  dibiayai  tersebut  tidak  dapat dilaksanakan/dibayar melalui penerbitan SPM-LS.
10    SPM-UP/Tambahan UP diterbitkan dengan menggunakan kode kegiatan untuk rupiah murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP 0000.0000.825113.
11    Penggantian UP, diajukan ke KPPN dengan SPM-GUP dengan SPM-GUP,dilampiri SPTB, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilegalisir oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk,  untuk  transaksi  yang  menurut ketentuan harus dipungut PPN dan PPh.
12    Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada satu rekanan tidak boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran honor.
Model pembayaran dengan LS
Mekanisme pembayaran langsung (LS), yaitu mekanisme pembayaran dari Bendahara Umum Negara (KPPN)/Negara kepada rekanan atau pihak ketiga. Mekanisme pembayaran LS tidak hanya untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem kontrak saja, tetapi dapat dikembangkan untuk pembayaran langsung kepada pihak ketiga/rekanan tanpa melalui ikatan pekerjaan dengan sistem kontrak, seperti pembayaran honor atau untuk pengadaan barang dan jasa sampai dengan Rp 50 juta sesuai dengan keppres 80 tahun 2003 yang mengatur mekanisme tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah.
Mekanisme pembayaran LS  merupakan mekanisme pembayaran yang utama di mana dalam rangka pencairan APBN, seharusnya lebih menekankan pada prinsip-prinsip pembayaran LS  ketimbang menggunakan mekanisme UP. Keuntungan yang dapat kita peroleh yaitu terjaminnya dilakukan pembayaran dalam rangka APBN oleh Negara kepada pihak  ketiga/rekanan selaku penyedia barang/jasa pemerintah. Dan optimalnya penggunaan uang Negara. karena dapat mengurangi idle cash money pada bendahara pengeluaran, sehingga dapat digunakan secara optimal oleh BUN dalam rangka manajemen kas.
Mekanisme Pembayaran UP
Uang persediaan merupakan uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Terminologi uang persediaan tersebut telah melewati beberapa kali perubahan nama dan besaran jumlah. Sejak diperkenalkan pertama kali dengan nama Uang Untuk DiPertanggungjawabkan (UUDP), kemudian mengalami perubahan menjadi Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD) pada tahun 1990, dan terakhir pada tahun 2005 menjadi Uang Persediaan (UP) yang dikenal sekarang ini.
Uang persediaan yang diberikan kepada bendahara pengeluaran merupakan uang muka kerja dari Bendahara Umum Negara (BUN) atau Kuasa BUN yang belum membebani anggaran (Transito) yang harus dipertanggungjawabkan.
a. Kondisi Sekarang
Saat ini, UP diberikan kepada bendahara pengeluaran oleh BUN/Kuasa BUN untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari perkantoran (kelompok akun 52 dan 58) dan biaya administrasi kegiatan pada kelompok belanja modal (kelompok akun 53) yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
UP dapat diberikan setinggi-tingginya :
  1. 1/12 (satu per duabelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp. 50.000.000,- untuk pagu sampai dengan Rp. 900.000.000,- ;
  2. 1/18 (satu per delapanbelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp.100.000.000,- untuk pagu diatas Rp. 900.000.000,- sampai dengan     Rp. 2.400.000.000,- ;
  3. 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp.200.000.000,- untuk pagu diatas Rp. 2.400.000.000,- ;
Pembayaran yang dapat dilakukan oleh bendahara pengeluaran kepada satu rekanan/pihak ketiga tidak boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran honor dan perjalanan dinas.
Ketentuan yang mengatur Kelompok akun yang dapat dibayarkan dengan UP, besaran UP yang diberikan kepada bendahara pengeluaran dan batasan pembayaran dengan UP  di luar ketentuan tersebut di atas ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
UP yang dikelola bendahara pengeluaran dilakukan pengisian kembali oleh BUN/Kuasa BUN apabila dana UP telah dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima dan diajukan pertanggungjawabannya oleh satker kepada Kuasa BUN dengan SPM GU.
Dalam hal satker membutuhkan pendanaan melebihi sisa dana UP yang dikelola, satker dapat mengajukan permintaan Tambahan UP kepada BUN/Kuasa BUN.
Kenyataan yang terjadi saat ini adalah :
  • Masih banyak satker yang mengajukan tambahan UP dengan angka yang signifikan untuk membiayai kegiatan ”operasional” kantor sehari-hari mencapai angka milyaran rupiah. Pada pelaksaannya terdapat pembayaran untuk fotocopi dan bahan untuk berbagai kegiatan dengan nilai kurang dari Rp 10 juta, akan tetapi bila dikumulatifkan mencapai nilai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah.
  • Masih terdapat satker yang mengajukan dispensasi penggunaan UP untuk melakukan pembayaran melebihi nilai Rp 10 juta, contoh satker A yang mengajukan dispensasi ke Kantor Pusat (TA 2009) untuk melakukan pembayaran bahan bakar untuk kegiatan pelatihan yang melebihi UP Rp 10 juta. Pada pelaksanaannya dispensasi tersebut digunakan untuk melakukan pembayaran bahan bakar dengan nilai milyaran rupiah.
Bendahara pengeluaran lebih senang melakukan pembayaran melalui mekanisme UP dengan berbagai alasan tertentu, dibandingkan melalui mekanisme pembayaran LS. Padahal prinsip pembayaran utama adalah, seyogyanya mekanisme pembayaran dalam rangka APBN menggunakan mekanisme pembayaran LS.
Kondisi yang terjadi selama ini seperti diuraikan di atas, dapat meningkatkan idle cash money pada bendahara pengeluaran yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip manajemen kas, dan memperpanjang rantai proses pembayaran kepada pihak ketiga/rekanan karena harus melalui bendahara pengeluaran terlebih dahulu, mengajukan dispensasi TUP, sehingga memerlukan waktu yang cukup relatif lama.

Mekanisme pembayaran UP sebagai salah satu mekanisme pembayaran APBN masih tetap dibutuhkan. Penggunaan istilah penggunaan UP untuk kegiatan operasional sehari-hari perkantoran tidak lagi digunakan, mengingat dalam pengelompokaan akun sekarang terdapat belanja operasional dan non operasional yang dapat dilaksanakan dengan UP. Penggunaan UP dibatasi hanya untuk pengeluaran yang kecil dengan batasan tertentu yang memang sulit bila dilakukan dengan mekanisme pembayaran LS.
Kebiasaan bendahara pengeluaran menggunakan mekanisme pembayaran UP dalam melakukan pembayaran pengeluaran APBN dapat dikurangi dengan memberikan kemudahan persyaratan pembayaran dan pencairan dana melalui mekanisme LS.
Mekanisme pembayaran LS merupakan mekanisme pembayaran utama dalam rangka penyaluran APBN. Mekanisme pembayaran ini dapat dikategorikan menjadi 3 bagian ;
  1. Pembayaran LS dengan melakukan ikatan perjanjian berbentuk Surat Perintah Kerja/SPK (nilai pengadaan mulai Rp 5 jt s.d 50 Juta) dan kontrak (nilai pengadaan di atas Rp 50 Juta) sesuai mekanisme pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keppres 80 tahun 2003.
  2. Pembayaran LS seperti pembayaran belanja pegawai (kelompok akun 51).
  3. Pembayaran LS dalam rangka pengadaan barang/jasa yang dilakukan tanpa adanya ikatan perjanjian berbentuk SPK dan kontrak dengan nilai pengadaan kurang dari Rp 5 juta, pembayaran Honor, dan biaya perjalanan.
Pembayaran menggunakan mekanisme LS pada bagian 1 dilampiri dengan kontrak, berita acara pembayaran, berita acara serah terima barang, kuitansi. Pembayaran menggunakan mekanisme pada bagian 2 melampirkan SK dan daftar pembayaran. Pembayaran pada bagian 3 untuk pembayaran pengadaan dengan nilai kurang Rp 5 juta cukup melampirkan kuitansi, sedangkan untuk pembayaran honor dan biaya perjaldin dengan SK, surat tugas dan daftar pembayaran.
Pengajuan pencairan dana kepada kuasa BUN (KPPN) dapat dipertimbangkan agar cukup melampirkan SPM-LS, SKTJM (surat keterangan tanggung jawab mutlak), SPTB, dan dilampiri daftar rekening penyedia jasa/rekanan/pihak ketiga/pegawai.
Pembayaran menggunakan mekanisme LS pada bagian 1 dan 3 di atas tidak dibatasi pada prinsip 1 SPM, 1 rekanan tetapi 1 SPM dimungkinkan untuk beberapa rekanan/pihak ketiga dengan menggunakan daftar rekening pihak ketiga terlampir. 




b. Identifikasi Mekanisme Pembayaran Sejak Awal
Dalam penyusunan DIPA, satker diwajibkan menyusun rencana penarikabn  dana pada halaman III. Satker diwajibkan  mengelompokkan pengeluaran-pengeluaran negara ke dalam 2 kelompok; 1) pembayaran yang dilakukan dengan kontraktual sebagaimana diatur dalam keppres 80 tahun 2003 dan 2) pembayaran yang dilakukan non kontraktual. Satker juga seharusnya diwajibkan menentukan mekanisme pembayaran dengan UP atau LS dengan menginventarisir kelompok-kelompok pengeluaran.
Contoh ;
  • untuk belanja pegawai diwajibkan dengan mekanisme LS;
  • untuk pembayaran honor dan perjalanan dinas yang sudah diyakini besaran dan penerimanya diwajibkan menggunakan mekanisme LS;
  • pengadaan barang/jasa berbentuk fisik dengan nilai di atas 5 juta diwajibkan menggunakan mekanisme LS.
Untuk menghasilkan rencana penarikan dana diawali dari penyusunan jadwal pelaksanaan kegiatan dan tentunya melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui mekanisme pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keppres 80 tahun 2003.
Efektifitas penyusunan rencana penarikan dana akan menghasilkan besaran pengeluaran APBN yang dapat dilakukan dengan mekanisme UP dan LS.
2.2 PROSEDUR PENCAIRAN DANA
Prosedur pencairan dana pada suatu satker ada dua jenis, yaItu melalui mekanisme uang persediaan (UP) dan mekanisme dengan pembayaran Langsung (LS). Uang persediaan dapat diberikan untuk belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811. Besarnya UP yang dapat diberikan tergantung dari jumlah belanja yang dapat dimintakan UP. Bendahara Pegeluaran melakukan pengisian kembali Uang Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia pagu dalam DIPA. Pengisian kembali UP dapat diberikan apabila UP telah dipergunakan sekurang-kurang 75% dari dana UP yang diterima.
Bendahara mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk penerbitan SPM dibuat dengan menggunakan format lampiran 1 Perdirjen No. 66/PB/2005 dan kelengkapan persyaratannya diatur sebagai berikut:
1.      SPP-UP (Uang Persediaan)
Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk, menyatakan bahwa Uang Persediaan tersebut tidak untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.

2.      SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan)
a.       Rincian rencana penggunaan dana Tambahan Uang Persediaan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk.
b.       Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran, atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
1)        Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak dan akan habis digunakan dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D;
2)         Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke Rekening Kas Negara;
3)        Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
c.       Rekening Koran yang menunjukkan saldo terakhir.

3.      SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan)
a.       Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
b.       Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak;
c.       Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk.
4.      Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui mekanisme pembayaran langsung (LS), kecauli tidak mungkin dilaksanakan melalui mekanisme  LS, maka  dapat  dilakukan  melalui UP/TUP.  Jika  menggunakan LS persyaratan yang harus Pengaturan mekanisme pembayaran adalah sebagai berikut:
a.       Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya lebih dari satu hektar di kabupaten/kota;
b.       Fotokopi bukti kepemilikan tanah;
c.       Kuitansi;
d.       SPPT PBB tahun transaksi;
e.       Surat persetujuan harga;
f.        Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan tidak sedang dalam anggunan;
g.       Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan PPAT;
h.       SSP PPH final atas pelepasan hak;
i.         Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan).
UP/TUP
a.       Pengadaan  tanah  yang  luasnya kurang  dari satu  hektar  dilengkapi  persyaratan  daftar       nominative pemilik tanah yang ditandatangani oleh kuasa PA.
b.       Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari satu hektar dilakukandengan bantuan panitia pengadaan tanah di kabupaten/kota setempat dan dilengkapi dengan daftar nominative pemilih tanah dan beasaran harga tanah yang ditandatangani oleh kuasa  PA  dan  diketahui  oleh Panitia Pengadaan Tanah (PPT).
c.       Pengadaan tanah yang pembayarannya dilaksanakan melalui UP/TUP harus terlebih dahulu mendapat ijin dispensasi dari kantor pusat DitjenPBN/Kanwil Ditjen PBN  sedangkan  besaran uangnya harus mendapat dispensasi UP/TUP sesuai ketentuan yang berlaku.

5.      LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
a.       Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka wafat dilengkapi dengan Daftar Gaji Induk/susulan gaji/ ekutrangan gaji/gaji terusan/uang duka wafat, SK CPNS, SK naik pangkat, SK jabatan, KGB, SuratPernyataan Pelantikan, Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan,  SuratPernyataan Pelaksanaan Tugas, Daftar Keluarga (KP4), kopi Surat Nikah, kopi Akte Kelahiran, Surat Keterangan Penghentian Pembayaran, Daftar potongan Sewa Rumah Dinas, Surat Keterangan Masih Sekolah/Kuliah, Surat Pindah, Surat Kematian, SSP PPh pasal 21. Kelengkapan tersebut harus sesuai peruntukannya.
b.       Pembayaran lembur dilengkapi dengan Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur yang sudah ditandatangani oleh Kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran Satker/SKS ybs, surat perintah kerja lembur, daftar hadir kerja, daftar kerja lembur dan SSP PPh pasal 21.
c.       Pembayaran Honor/vakasi dilengkapi dengan SK tentang pemberian honor vakasi, daftar pembayaran perhitungan honor/vakasi yang ditandatangani oleh kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran ybs dan SSP PPh pasal 21.
6.      LS non Belanja Pegawai :
a.       Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
1)     Kontrak/SPK yang mencantmkan nomor rekening rekanan;
2)     Surat pernyataan kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
3)     Berita acara penyelesaian pekerjaan;
4)     Berita acara serah terima pekerjaan;
5)     Berita acara pembayaran;
6)     Kuitansi yang disetujui oleh kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
7)     Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani WP;
8)     Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau lembaga keuangan non bank.
9)     Dokumen  lain  yang  dipersyaratkan  untuk  kontrak-kontrak yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber daripinjaman/hibah luar negeri;
10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN Berita Acara pada butir 3), 4) dan 5) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 dan disampaikan kepada :
a)      Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
b)     Masig-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak
c)      Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan



b.       Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air) :
1)   Bukti tagihan daya dan jasa;
2)   No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom,PDAM,dll).Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan secara langsung, satker/SKS ybs dapat melakukan pembayaran dengan UP.Tunggakan langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat dibayarkan oleh satker/SKS setelah mendapat dispensasi/persetujuan terlebih dahulu dari Kanwil Ditjen PBN sepanjang dananya tersedia dalam DIPA berkenaan.
c.       Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas Pembayaran biaya perjalanan dinas harus dilengkapi dengan daftar nominatif pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas, yang berisi antara lain:
a)   Informasi mengenai data pejabat (Nama, pangkat/Golongan),
b)   tujuan,
c)   tanggal keberangkatan,
d)   lama perjalanan dinas, dan
e)   biaya yang diperlukan untuk masing-masing pejabat.
Daftar normatif tersebut harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang memerintahkan perjalanan dinas, dan disahkan oleh pejabat yang berwenang di KPPN. Pembayaran dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satker/SKS ybs kepada para pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas.
7.      SPP untuk PNBP
a.          UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya.
b.         UP dapat diberikan kepada Satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana  DIPA (PNBP) tahun anggaran  sebelumnya.  Apabila UP tidak  mencukupi  dapat  mengajukan     TUP  debesar  kebutuhan  riil  satu  bulan  dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP).
c.          Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula sebagai berikut : MP = (PPP x JS) = JPS;
d.         MP = Maksimum Pencairan Dana;
e.          PPP = Proporsi Pagu Pengeluran terhadap Pendapatan;
f.           JS = Jumlah setoran;
g.          JPS = Jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan.
h.         Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, Satker pengguna harus melampirkan Daftar perhitungan Jumlah MP;
i.           Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkanSSBP;
j.           Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi olah KPPN;
k.         Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat keputusan Menteri Keuangan yang berlaku;
l.           Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu PNBP satker ybs dalam DIPA.
m.       Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh kuasa PA,dilakukan dengan mengajukan SPM setempat cukup dengan melampirkan SPTB.
n.         Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non BHMN), sisa dana PNBP yang disetorkan pada akhir tahun anggaran ke rekening kas Negara dapat dicairkan kembali maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan  merupakan bagian dari target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berikutnya.
o.         Sisa dana PNBP dari satker pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke rekening kas Negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun  anggaran berikutnya dan  dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah diterimanya DIPA.
p.         Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan kerekening kas Negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan danaUP tahun anggaran berikutnya.
q.         Untuk keseragaman dalam pembukuan system akuntansi, maka penyetoranPNBP agar menggunakan formulir SSBP.

















                                                                              
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu melalui model uang persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Kepada setiap satuan kerja dapat diberikan Uang Persediaan. Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811. Besarnya UP yang dapat diberikan Tergantung dari jumlah belanja yang dapat  dimintakan UP. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisisan kembali Uang Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving ) sepanjang masih tersedia pagu dana dalam  DIPA.  Pengisian  kembali  UP  dapat  diberikan  apabila  UP  telah dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.Dalam hal penggunaan UP belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybs memerlukan pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia, satker/SKS dimaksud dapat mengajukan TUP. Syarat untuk mengajukan Tambahan UP :
1.       Untuk memenuhi kebutuhan yang sangatmendesak/tidak dapat tidak ditunda;
2.       Digunakan paling lama satu bulan sejaktanggal SP2D diterbitkan.
3.        Apabila tidak habis digunakan dalam satubulan sisa dana yang ada pada bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
Pembayaran  dengan  menggunakan  model  LS  artinya  pembayaran  melalui transfer  dari  rekening  kas  Negara  ke  rekening  bank  penerima  setelah  memenuhi persyaratan  yg  diharuskan.  Pembayaran  dengan  menggunakan  model  LS  biasa dilakukan untuk:
1.       Pengadaan Tanah
2.       LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
3.       LS non Belanja Pegawai, yaitu :
Pembayaran Pengadaan barang dan jasa,Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air), dan Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas.
Kebenaran pengisian dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi kuitansi, Surat Perintah  Kerja (SPK),  Surat  perjanjian/Kontrak,  Berita  Acara  Penyerahan Barang/ Pekerjaan, dan  Berita  Acara  Pembayaran Bendaharawan  pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah  Pusat, Pemerintah  Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya pajak yang dipungut oleh bendahara sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.