BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Model pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu
melalui model uang persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Melalui 2
model ini diharapkan pencairan dana menjadi lebih lancar, dan setiap Satker
diharapkan mengoptimalkan pengeluaran-pengeluaran yang akan dilakukan dengan
mengoptimalkan penggunaan uang persediaan dan LS.
Strategi perencanaan pengeluaran
menjadi hal yang harus diperhatikan mengingat hanya ada dua model
pencairan dana. Pengeluaran-pengeluaran sejak awal harus disusun dan
direncanakan akan menggunakan uang persediaan atau LS mengingat kedua model
pencairan ini mempunyai aturan-aturan tertentu yang bisa menjadi penentu
kelancaran atau malah sebaliknya ketika kita tidak memahami
mekanisme pencairan kedua model ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan
Uang persediaan (UP) adalah istilah
baru yang muncul dalam Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. UP merupakan uang kas yang ada di tangan bendahara
pengeluaran, dengan karakteristik sebagai berikut:
1.
Hanya diberikan
sekali dalam satu tahun anggaran;
2.
Diberikan pada awal
tahun anggaran;
3.
Merupakan jumlah
maksimal (pagu) uang yang dipegang oleh bendahara pengeluaran;
4.
Untuk digunakan dalam
melaksanakan pembayaran kegiatan-kegiatan yang bersifat swakelola;
5.
Bersifat revolving (adanya
pengisian kembali jika telah terpakai); dan
6.
Besarannya tergantung
pada “kebijakan daerah” (biasanya dinyatakan dalam Surat Keputusan Kepala
Daerah).
UP
dalam Permendagri No.13/2006
Pasal 1 angka 66 Permendagri No.13/2006
menyatakan bahwa “SPP Uang Persediaan (SPP-UP) adalah dokumen yang diajukan
oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan uang muka kerja yang
bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak dapat dilakukan dengan
pembayaran langsung.“
Uang Persediaan merupakan uang muka
kerja SKPD yang bersifat revolving. Definisi ini merupakan implikasi dari
dipilihnya sistem UYHD, sebuah sistem yang mengadopsi sistem Imprest Fund dalam
pengelolaan kas kecil. Dengan sistem tersebut, bendahara sebagai pengelola kas
diberikan uang muka kerja pada besaran tertentu, untuk kemudian dipakai untuk
membiayai kegiatan SKPD, dan jika jumlah telah berkurang sampai batas tertentu
dapat dimintakan penggantian sehingga jumlah uang akan kembali pada nilai
semula.
DOKUMEN
Mekanisme uang persediaan menggunakan dokumen sebagai berikut:
Mekanisme uang persediaan menggunakan dokumen sebagai berikut:
·
DPA SKPD sebagai
dasar perhitungan
·
Per KDH yang menetapkan
besaran UP untuk setiap SKPD
·
SPP UP
·
SPM
·
SP2D
ISU
LAPANGAN
1.
Beberapa kesulitan
yang muncul diawali dengan kebingungan tentang bagaimana menghitung besaran UP
per SKPD. Pada dasarnya tidak ada pengaturan yang spesifik tentang hal
tersebut. Secara logis, perhitungan besaran UP diawali dengan mengidentifikasi
item2 dalam DPA yang akan dilaksanakan dengan cara LS. Berarti sisanya
direncanakan akan dibiayai dengan menggunakan mekanisme uang persediaan.
Kemudian, dilakukan proyeksi berapa kali bendahara yang bersangkutan akan
melakukan SPJ. Jika 12 kali, maka jumlah tadi dibagi 12. Jika 20 kali, maka
dibagi 20.
2.
Bagi Kas Daerah, UP
merupakan pengeluran. Bagi SKPD, merupakan penerimaan. Namun dalam sudut
pandang Pemda, UP hanya merupakan reklasifikasi kas semata. Jadi, dokumen
penatausahaan TIDAK perlu mencantumkan kode rekening belanja yang menandakan
adanya pembebanan belanja APBD.
3.
Penggantian UP yang
telah digunakan menggunakan GU. Penggantian tersebut tidak dipicu berdasarkan
waktu, tetapi dipicu berdasarkan kondisi (jumlah) keberadaan UP itu sendiri.
Dengan demikian permintaan GU tidak harus menunggu sebulan atau periode waktu
tertentu, namun tergantung pada kebutuhan.
Kepada
setiap satuan kerja dapat diberikan Uang Persediaan. Untuk mengelola uang
persediaan bagi satuan kerja di lingkungan kementrian Negara/lembaga, sebelum
diberlakukannya ketentuan dan atau dilakukannya pengangkatan
pejabat fungsional Bendahara, Menteri/Pimpinan lembaga pengeluaran
pada kementrian/lembaga atau satuan kerja yang dipimpinnya. Untuk
membantu pengelolaan uang persediaan pada kantor / satuan
kerja dilingkungan kementrian/lembaga, apabila diperlukan kepala satuan
kerja dapat menunjuk pemegang uang muka.
Dalam pelaksanaan tugasnya pemegang uang muka
bertanggung jawab kepada bendahara pengeluaran. Bendahara pengeluaran dapat membagi uang
persediaan kepada beberapa PUM. Apabila diantara PUM telah merealisasikan penggunaan UPnya
sekurang-kurangnya 75% Kuasa PA/pejabat yang ditunjuk dapat mengajukan SPM-GUP
bagiPUM berkenaan tanpa menunggu realisasi PUM lain yan belum mencapai 75%. Mengenai
prosedur uang persediaan diatur sebagai berikut:
1
PA/kuasa PA
menerbitkan SPMUP berdasarkan DIPA atas permintaan
Bendahara pengeluaran yang dibebankan pada MAK transito kode kegiatan untuk rupiah
murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan PNBP 0000.
0000. 825113.
2
Berdasarkan SPMUP,
KPPN menerbitkan SP2D untuk rekening Bendahara
Pengeluaran yangditunjuk dalam SPM-UP.
3
Penggunaan Uang Persediaan menjadi tanggungjawab Bendahara pengeluaran.
4
Bendahara P engeluaran
melakukan pengisisan kembali Uang Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving ) sepanjang masih tersedia pagu
dana dalam DIPA.
5
Bagi Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa PUM, dalam
pengajuan SPM-UP diwajibkan melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah uang
yang dikelola oleh masing-masing PUM.
6
Sisa uang persediaan yang
ada di Bendahara Pengeluaran pada akhir tahunanggaran harus disetorkan kembali
ke rekening kas Negara selambat-lambatnyatanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan.
Setoran sisa uang persediaandimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian
uang persediaan sesuaimata anggaran yang ditetapkan.
7
Uang persediaan dapat
diberikan dalam batas-batas sebagai berikut :
a.
Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran
belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811.
b.
Diluar ketentuan butir a,
dapat diberikan pengecualian untuk DIPA pusat oleh Dirjen Perbendaharaan dan
untuk DIPA pusat yang kegiatannya berlokasi didaerah serta DIPA yang ditetapkan
oleh kepala Kanwil DJPBN oleh Kepala Kanwil DJPBN setempat.
c.
UP dapat diberikan
setinggi-tingginya :
1) 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi
belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 50 juta untuk pagu
sampai dengan Rp 900 juta.
2) 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut
kualifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 100 juta
untuk pagu diatas Rp 900 juta sampai dengan Rp 2.400 juta atau
Rp 2,4 miliar.
3) 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut
klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 200 juta
untuk pagu diatas RP 2,4 miliar.
d.
Perubahan besaran
UP diluar sebagaimana dimaksud butir c ditetapkan oleh Dirjen Perbendaharaan.
e.
Pengisian kembali UP
sebagaimana dimaksud butir c dapat diberikan apabila UPtelah dipergunakan
sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.
f.
Dalam hal penggunaan UP
belum mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybsmemerlukan pendanaan melebihi sisa
dana yang tersedia, satker/SKS dimaksuddapat mengajukan TUP.
g.
Pemberian TUP diatur
sebagai berikut:
1) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah
RP 200 juta untuk klarifikasi belanja yang diperbolehkan
diberi UP bagi instansi dalam wilayah pembayaran KPPN
bersangkutan.
2) Permintaan TUP diatas Rp 200 juta untk klarifikasi belanja yang
diperbolehkan diberi UP harus mendapat dispensasi
dari Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
8
Syarat untuk mengajukan
Tambahan UP :
a. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak
ditunda;
b. Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D
diterbitkan.
c. Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang
ada pada bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
d. Apabila ketentuan pada butir c tidak dipenuhi kepada
satker yang bersangkutan tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa
tahun anggaran berkenaan.
e. Pengecualian terhadap butir diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
9
Dalam mengajukan permintaan
TUP bendahara pengeluaran wajib menyampaikan :
a. Rincian Rencana Penggunaan Dana untuk kebutuhan
mendesak dan riil serta rincian sisa dana MAK yang dimintakan TUP.
b. Rekening
Koran yang menunjukkan saldo terakhir.
c. Surat Pernyataan bahwa kegiatan yang
dibiayai tersebut tidak dapat dilaksanakan/dibayar melalui
penerbitan SPM-LS.
10 SPM-UP/Tambahan UP diterbitkan dengan menggunakan kode
kegiatan untuk
rupiah murni 0000.0000.825111, pinjaman luar negeri 9999.9999.825112, dan
PNBP 0000.0000.825113.
11 Penggantian UP,
diajukan ke KPPN dengan SPM-GUP dengan SPM-GUP,dilampiri
SPTB, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang dilegalisir oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk,
untuk transaksi yang menurut ketentuan harus dipungut PPN dan
PPh.
12 Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
kepada satu rekanan tidak boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran
honor.
Model pembayaran dengan
LS
Mekanisme
pembayaran langsung (LS), yaitu mekanisme pembayaran dari Bendahara Umum Negara
(KPPN)/Negara kepada rekanan atau pihak ketiga. Mekanisme pembayaran LS tidak
hanya untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem kontrak saja, tetapi
dapat dikembangkan untuk pembayaran langsung kepada pihak ketiga/rekanan tanpa
melalui ikatan pekerjaan dengan sistem kontrak, seperti pembayaran honor atau
untuk pengadaan barang dan jasa sampai dengan Rp 50 juta sesuai dengan keppres
80 tahun 2003 yang mengatur mekanisme tata cara pengadaan barang/jasa
pemerintah.
Mekanisme
pembayaran LS merupakan mekanisme
pembayaran yang utama di mana dalam rangka pencairan APBN, seharusnya lebih
menekankan pada prinsip-prinsip pembayaran LS
ketimbang menggunakan mekanisme UP. Keuntungan yang dapat kita peroleh
yaitu terjaminnya dilakukan pembayaran dalam rangka APBN oleh Negara kepada
pihak ketiga/rekanan selaku penyedia
barang/jasa pemerintah. Dan optimalnya penggunaan uang Negara. karena dapat
mengurangi idle cash money pada bendahara pengeluaran,
sehingga dapat digunakan secara optimal oleh BUN dalam rangka manajemen kas.
Mekanisme Pembayaran
UP
Uang
persediaan merupakan uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur
ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk
membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung. Terminologi uang persediaan tersebut telah melewati
beberapa kali perubahan nama dan besaran jumlah. Sejak diperkenalkan pertama
kali dengan nama Uang Untuk DiPertanggungjawabkan (UUDP), kemudian mengalami
perubahan menjadi Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD) pada tahun 1990,
dan terakhir pada tahun 2005 menjadi Uang Persediaan (UP) yang dikenal sekarang
ini.
Uang
persediaan yang diberikan kepada bendahara pengeluaran merupakan uang muka
kerja dari Bendahara Umum Negara (BUN) atau Kuasa BUN yang belum membebani
anggaran (Transito) yang harus dipertanggungjawabkan.
a. Kondisi
Sekarang
Saat
ini, UP diberikan kepada bendahara pengeluaran oleh BUN/Kuasa BUN untuk
membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari perkantoran (kelompok akun 52
dan 58) dan biaya administrasi kegiatan pada kelompok belanja modal (kelompok
akun 53) yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
UP dapat diberikan
setinggi-tingginya :
- 1/12 (satu per
duabelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk
diberikan UP, maksimal Rp. 50.000.000,- untuk pagu sampai dengan Rp.
900.000.000,- ;
- 1/18 (satu per
delapanbelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan
untuk diberikan UP, maksimal Rp.100.000.000,- untuk pagu diatas Rp.
900.000.000,- sampai dengan Rp. 2.400.000.000,- ;
- 1/24 (satu per
dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan
untuk diberikan UP, maksimal Rp.200.000.000,- untuk pagu diatas Rp.
2.400.000.000,- ;
Pembayaran
yang dapat dilakukan oleh bendahara pengeluaran kepada satu rekanan/pihak
ketiga tidak boleh melebihi Rp 10 juta kecuali untuk pembayaran honor dan
perjalanan dinas.
Ketentuan
yang mengatur Kelompok akun yang dapat dibayarkan dengan UP, besaran UP yang
diberikan kepada bendahara pengeluaran dan batasan pembayaran dengan UP
di luar ketentuan tersebut di atas ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
UP
yang dikelola bendahara pengeluaran dilakukan pengisian kembali oleh BUN/Kuasa
BUN apabila dana UP telah dipergunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang
diterima dan diajukan pertanggungjawabannya oleh satker kepada Kuasa BUN dengan
SPM GU.
Dalam
hal satker membutuhkan pendanaan melebihi sisa dana UP yang dikelola, satker
dapat mengajukan permintaan Tambahan UP kepada BUN/Kuasa BUN.
Kenyataan yang
terjadi saat ini adalah :
- Masih banyak
satker yang mengajukan tambahan UP dengan angka yang signifikan untuk
membiayai kegiatan ”operasional” kantor sehari-hari mencapai angka
milyaran rupiah. Pada pelaksaannya terdapat pembayaran untuk fotocopi dan
bahan untuk berbagai kegiatan dengan nilai kurang dari Rp 10 juta, akan
tetapi bila dikumulatifkan mencapai nilai puluhan juta bahkan ratusan juta
rupiah.
- Masih terdapat
satker yang mengajukan dispensasi penggunaan UP untuk melakukan pembayaran
melebihi nilai Rp 10 juta, contoh satker A yang mengajukan dispensasi ke
Kantor Pusat (TA 2009) untuk melakukan pembayaran bahan bakar untuk kegiatan
pelatihan yang melebihi UP Rp 10 juta. Pada pelaksanaannya dispensasi
tersebut digunakan untuk melakukan pembayaran bahan bakar dengan nilai
milyaran rupiah.
Bendahara
pengeluaran lebih senang melakukan pembayaran melalui mekanisme UP dengan
berbagai alasan tertentu, dibandingkan melalui mekanisme pembayaran LS. Padahal
prinsip pembayaran utama adalah, seyogyanya mekanisme pembayaran dalam rangka
APBN menggunakan mekanisme pembayaran LS.
Kondisi
yang terjadi selama ini seperti diuraikan di atas, dapat meningkatkan idle
cash money pada bendahara pengeluaran yang bertolak belakang dengan
prinsip-prinsip manajemen kas, dan memperpanjang rantai proses pembayaran
kepada pihak ketiga/rekanan karena harus melalui bendahara pengeluaran terlebih
dahulu, mengajukan dispensasi TUP, sehingga memerlukan waktu yang cukup relatif
lama.
Mekanisme
pembayaran UP sebagai salah satu mekanisme pembayaran APBN masih tetap
dibutuhkan. Penggunaan istilah penggunaan UP untuk kegiatan operasional
sehari-hari perkantoran tidak lagi digunakan, mengingat dalam pengelompokaan
akun sekarang terdapat belanja operasional dan non operasional yang dapat
dilaksanakan dengan UP. Penggunaan UP dibatasi hanya untuk pengeluaran
yang kecil dengan batasan tertentu yang memang sulit bila dilakukan dengan
mekanisme pembayaran LS.
Kebiasaan
bendahara pengeluaran menggunakan mekanisme pembayaran UP dalam melakukan
pembayaran pengeluaran APBN dapat dikurangi dengan memberikan kemudahan
persyaratan pembayaran dan pencairan dana melalui mekanisme LS.
Mekanisme
pembayaran LS merupakan mekanisme pembayaran utama dalam rangka penyaluran
APBN. Mekanisme pembayaran ini dapat dikategorikan menjadi 3 bagian ;
- Pembayaran LS
dengan melakukan ikatan perjanjian berbentuk Surat Perintah Kerja/SPK
(nilai pengadaan mulai Rp 5 jt s.d 50 Juta) dan kontrak (nilai pengadaan
di atas Rp 50 Juta) sesuai mekanisme pengadaan barang/jasa sebagaimana
diatur dalam Keppres 80 tahun 2003.
- Pembayaran LS
seperti pembayaran belanja pegawai (kelompok akun 51).
- Pembayaran LS
dalam rangka pengadaan barang/jasa yang dilakukan tanpa adanya ikatan
perjanjian berbentuk SPK dan kontrak dengan nilai pengadaan kurang dari Rp
5 juta, pembayaran Honor, dan biaya perjalanan.
Pembayaran
menggunakan mekanisme LS pada bagian 1 dilampiri dengan kontrak, berita acara
pembayaran, berita acara serah terima barang, kuitansi. Pembayaran menggunakan
mekanisme pada bagian 2 melampirkan SK dan daftar pembayaran. Pembayaran pada
bagian 3 untuk pembayaran pengadaan dengan nilai kurang Rp 5 juta cukup
melampirkan kuitansi, sedangkan untuk pembayaran honor dan biaya perjaldin
dengan SK, surat tugas dan daftar pembayaran.
Pengajuan
pencairan dana kepada kuasa BUN (KPPN) dapat dipertimbangkan agar cukup
melampirkan SPM-LS, SKTJM (surat keterangan tanggung jawab mutlak), SPTB, dan
dilampiri daftar rekening penyedia jasa/rekanan/pihak ketiga/pegawai.
Pembayaran
menggunakan mekanisme LS pada bagian 1 dan 3 di atas tidak dibatasi pada
prinsip 1 SPM, 1 rekanan tetapi 1 SPM dimungkinkan untuk beberapa rekanan/pihak
ketiga dengan menggunakan daftar rekening pihak ketiga terlampir.
b. Identifikasi
Mekanisme Pembayaran Sejak Awal
Dalam
penyusunan DIPA, satker diwajibkan menyusun rencana penarikabn dana pada
halaman III. Satker diwajibkan mengelompokkan pengeluaran-pengeluaran
negara ke dalam 2 kelompok; 1) pembayaran yang dilakukan dengan kontraktual
sebagaimana diatur dalam keppres 80 tahun 2003 dan 2) pembayaran yang dilakukan
non kontraktual. Satker juga seharusnya diwajibkan menentukan mekanisme
pembayaran dengan UP atau LS dengan menginventarisir kelompok-kelompok
pengeluaran.
Contoh ;
- untuk belanja
pegawai diwajibkan dengan mekanisme LS;
- untuk pembayaran
honor dan perjalanan dinas yang sudah diyakini besaran dan penerimanya
diwajibkan menggunakan mekanisme LS;
- pengadaan
barang/jasa berbentuk fisik dengan nilai di atas 5 juta diwajibkan
menggunakan mekanisme LS.
Untuk
menghasilkan rencana penarikan dana diawali dari penyusunan jadwal pelaksanaan
kegiatan dan tentunya melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui
mekanisme pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur dalam Keppres 80 tahun 2003.
Efektifitas
penyusunan rencana penarikan dana akan menghasilkan besaran pengeluaran APBN
yang dapat dilakukan dengan mekanisme UP dan LS.
2.2 PROSEDUR
PENCAIRAN DANA
Prosedur pencairan dana pada suatu satker ada dua
jenis, yaItu melalui mekanisme uang persediaan (UP) dan mekanisme dengan
pembayaran Langsung (LS). Uang persediaan dapat diberikan untuk belanja barang
pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811. Besarnya
UP yang dapat diberikan tergantung dari jumlah belanja yang dapat dimintakan
UP. Bendahara Pegeluaran melakukan pengisian kembali Uang Persediaan setelah
Uang Persediaan digunakan (revolving) sepanjang masih tersedia pagu
dalam DIPA. Pengisian kembali UP dapat diberikan apabila UP telah dipergunakan
sekurang-kurang 75% dari dana UP yang diterima.
Bendahara mengajukan Surat Permintaan Pembayaran
(SPP) untuk penerbitan SPM dibuat dengan menggunakan format lampiran 1
Perdirjen No. 66/PB/2005 dan kelengkapan persyaratannya diatur sebagai berikut:
1.
SPP-UP
(Uang Persediaan)
Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat
yang ditunjuk, menyatakan bahwa Uang Persediaan tersebut tidak untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
2.
SPP-TUP
(Tambahan Uang Persediaan)
a.
Rincian rencana penggunaan dana
Tambahan Uang Persediaan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang
ditunjuk.
b.
Surat Pernyataan dari Kuasa
Pengguna Anggaran, atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
1)
Dana Tambahan UP tersebut akan
digunakan untuk keperluan mendesak dan akan habis digunakan dalam waktu
satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D;
2)
Apabila
terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke Rekening Kas Negara;
3)
Tidak untuk membiayai
pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
c.
Rekening Koran yang menunjukkan
saldo terakhir.
3.
SPP-GUP
(Penggantian Uang Persediaan)
a.
Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
b.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Mutlak;
c.
Surat Setoran Pajak (SSP) yang
telah dilegalisir oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk.
4. Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui
mekanisme pembayaran langsung (LS), kecauli tidak mungkin dilaksanakan melalui
mekanisme LS, maka dapat dilakukan melalui UP/TUP. Jika
menggunakan LS persyaratan yang harus Pengaturan
mekanisme pembayaran adalah sebagai berikut:
a. Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang
luasnya lebih dari satu hektar di kabupaten/kota;
b. Fotokopi bukti kepemilikan tanah;
c. Kuitansi;
d. SPPT PBB tahun transaksi;
e. Surat persetujuan harga;
f.
Pernyataan dari
penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan tidak
sedang dalam anggunan;
g. Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan
PPAT;
h. SSP PPH final atas pelepasan hak;
i.
Surat pelepasan hak adat
(bila diperlukan).
UP/TUP
a.
Pengadaan tanah yang
luasnya kurang dari satu hektar dilengkapi
persyaratan daftar nominative pemilik tanah yang ditandatangani oleh
kuasa PA.
b.
Pengadaan tanah yang luasnya
lebih dari satu hektar dilakukandengan bantuan panitia pengadaan tanah di
kabupaten/kota setempat dan dilengkapi dengan daftar nominative pemilih
tanah dan beasaran harga tanah yang ditandatangani
oleh kuasa PA dan diketahui oleh Panitia Pengadaan
Tanah (PPT).
c.
Pengadaan tanah yang
pembayarannya dilaksanakan melalui UP/TUP harus terlebih dahulu
mendapat ijin dispensasi dari kantor pusat DitjenPBN/Kanwil
Ditjen PBN sedangkan besaran uangnya harus mendapat dispensasi
UP/TUP sesuai ketentuan yang berlaku.
5. LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
a. Pembayaran Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji
terusan/uang duka
wafat dilengkapi dengan Daftar Gaji Induk/susulan gaji/ ekutrangan gaji/gaji
terusan/uang duka wafat, SK CPNS, SK naik pangkat, SK jabatan, KGB,
SuratPernyataan Pelantikan, Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan,
SuratPernyataan Pelaksanaan Tugas, Daftar Keluarga (KP4),
kopi Surat Nikah, kopi Akte Kelahiran, Surat Keterangan Penghentian
Pembayaran, Daftar potongan Sewa Rumah Dinas, Surat
Keterangan Masih Sekolah/Kuliah, Surat Pindah, Surat Kematian, SSP PPh pasal 21. Kelengkapan tersebut harus sesuai
peruntukannya.
b. Pembayaran lembur dilengkapi dengan Daftar Pembayaran Perhitungan
Lembur yang sudah ditandatangani oleh Kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan
Bendahara Pengeluaran Satker/SKS ybs, surat perintah kerja
lembur, daftar hadir kerja, daftar kerja lembur dan SSP PPh pasal 21.
c. Pembayaran Honor/vakasi dilengkapi dengan SK tentang pemberian
honor vakasi, daftar pembayaran perhitungan honor/vakasi yang ditandatangani
oleh kuasa PA/Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran ybs dan SSP PPh
pasal 21.
6. LS non Belanja Pegawai :
a. Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
1) Kontrak/SPK yang mencantmkan nomor rekening rekanan;
2) Surat pernyataan kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
4) Berita acara serah terima pekerjaan;
5) Berita acara pembayaran;
6) Kuitansi yang disetujui oleh kuasa PA atau pejabat yang
ditunjuk;
7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani WP;
8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau
lembaga keuangan non bank.
9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk
kontrak-kontrak yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber
daripinjaman/hibah luar negeri;
10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN Berita
Acara pada butir 3), 4) dan 5) dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5
dan disampaikan kepada :
a) Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
b) Masig-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat
kontrak
c) Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan
b. Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa
(Listrik, Telepon dan Air) :
1)
Bukti tagihan daya dan jasa;
2)
No. rekening pihak ketiga
(PLN, Telkom,PDAM,dll).Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat
dilakukan secara langsung, satker/SKS ybs dapat melakukan pembayaran dengan
UP.Tunggakan langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat dibayarkan
oleh satker/SKS setelah mendapat dispensasi/persetujuan terlebih dahulu
dari Kanwil Ditjen PBN sepanjang dananya tersedia dalam DIPA berkenaan.
c. Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas Pembayaran
biaya perjalanan dinas harus dilengkapi dengan
daftar nominatif pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas, yang
berisi antara lain:
a) Informasi
mengenai data pejabat (Nama, pangkat/Golongan),
b) tujuan,
c) tanggal keberangkatan,
d) lama perjalanan dinas, dan
e) biaya yang diperlukan untuk masing-masing pejabat.
Daftar
normatif tersebut harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
memerintahkan perjalanan dinas, dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang di KPPN.
Pembayaran dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satker/SKS
ybs kepada para pejabat yang akan melakukan perjalanan dinas.
7.
SPP untuk PNBP
a.
UP/TUP untk PNBP diajukan
terpisah dari UP/TUP lainnya.
b.
UP
dapat diberikan kepada Satker
pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada DIPA
maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan
dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun anggaran sebelumnya.
Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan
TUP debesar kebutuhan
riil satu bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan
(MP).
c.
Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula
sebagai berikut : MP = (PPP x JS) = JPS;
d.
MP = Maksimum Pencairan Dana;
e.
PPP = Proporsi Pagu
Pengeluran terhadap Pendapatan;
f.
JS = Jumlah setoran;
g.
JPS = Jumlah pencairan dana
sebelumnya sampai dengan SPM terakhir yang diterbitkan.
h.
Dalam
pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, Satker pengguna harus melampirkan
Daftar perhitungan Jumlah MP;
i.
Untuk satker pengguna
yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana diatur
secara khusus dengan surat edaran Dirjen PBN tanpa melampirkanSSBP;
j.
Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak
terpusat), pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi
olah KPPN;
k.
Besaran PPP untuk
masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat keputusan Menteri
Keuangan yang berlaku;
l.
Besarnya pencairan dana PNBP
secara keseluruhan tidak boleh melampaui pagu PNBP satker ybs dalam DIPA.
m. Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh kuasa PA,dilakukan dengan mengajukan SPM setempat cukup dengan melampirkan
SPTB.
n.
Khusus perguruan tinggi negeri
selaku pengguna PNBP (non BHMN), sisa dana PNBP yang disetorkan pada akhir
tahun anggaran ke rekening kas Negara dapat dicairkan kembali
maksimal sebesar jumlah yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya
mendahului diterimanya DIPA dan merupakan
bagian dari target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran
berikutnya.
o.
Sisa dana PNBP dari satker
pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke rekening kas Negara pada akhir
tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun anggaran berikutnya
dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah
diterimanya DIPA.
p.
Sisa UP/TUP dana PNBP sampai
akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan kerekening kas Negara,
akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan danaUP tahun anggaran
berikutnya.
q.
Untuk keseragaman dalam pembukuan system akuntansi, maka penyetoranPNBP
agar menggunakan formulir SSBP.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model
pencairan dana bagi sebuah satker ada 2 jenis, yaitu melalui model uang
persediaan dan model langsung (LS) melalui KPPN. Kepada setiap satuan
kerja dapat
diberikan Uang Persediaan. Uang persediaan dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran
belanja barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811.
Besarnya UP yang dapat diberikan Tergantung dari jumlah belanja yang dapat
dimintakan UP. Bendahara Pengeluaran melakukan pengisisan kembali Uang
Persediaan setelah Uang Persediaan digunakan (revolving ) sepanjang masih
tersedia pagu dana dalam DIPA. Pengisian kembali UP
dapat diberikan apabila UP telah dipergunakan
sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima.Dalam hal penggunaan UP belum
mencapai 75%, sedangkan satker/SKS ybs memerlukan pendanaan melebihi sisa dana
yang tersedia, satker/SKS dimaksud dapat mengajukan TUP. Syarat untuk
mengajukan Tambahan UP :
1. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangatmendesak/tidak
dapat tidak ditunda;
2. Digunakan paling lama satu bulan sejaktanggal
SP2D diterbitkan.
3. Apabila tidak habis
digunakan dalam satubulan sisa dana yang ada pada bendahara, harus disetor ke
Rekening kas Negara;
Pembayaran
dengan menggunakan model LS artinya pembayaran
melalui transfer dari rekening kas Negara ke rekening
bank penerima setelah memenuhi persyaratan yg diharuskan.
Pembayaran dengan menggunakan model LS biasa
dilakukan untuk:
1.
Pengadaan Tanah
2.
LS untuk pembayaran gaji,
lembur dan honor/vakasi
3.
LS non Belanja Pegawai, yaitu :
Pembayaran Pengadaan barang dan jasa,Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon dan Air), dan
Pembayaran Belanja Pejalanan Dinas.
Kebenaran pengisian
dokumen tanda bukti pengeluaran meliputi kuitansi, Surat Perintah Kerja (SPK),
Surat perjanjian/Kontrak, Berita Acara Penyerahan Barang/
Pekerjaan, dan Berita Acara Pembayaran Bendaharawan pemerintah
termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib melakukan pemungutan pajak
penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya pajak yang dipungut
oleh bendahara sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.